music, sotoy

Musik yang Bukan Musik (?)

Selama ini saya menganggap bahwa musik yang jelek itu ga ada. Yang ada hanya musik yang cocok sama selera kita, sama musik yang enggak. Begitu sampai akhirnya beberapa waktu yang lalu saya nemu sebuah jenis ‘musik’ yang benar-benar ga bisa saya cerna. Jenis musik yang saya maksud adalah noise music. Musik yang bukan musik, kalau kata saya.

Noise music ini, seperti namanya, ya terdiri atas noise, seperti static noisefeedback, teriakan, dan saudara-saudaranya. Kalau mau tahu kayak gimana noise music itu, bayangkan suara mikrofon yang ditaruh di depan speaker, terus bayangkan suara yang 100 kali lipat lebih mengganggu.

Jika merujuk ke artikel di Wikipedianoise adalah segala suara yang tidak diinginkan. Jadi sebenarnya apakah sebuah suara termasuk noise atau bukan masih open to interpretation. Noise itu sendiri kalau kata saya sih intinya suara yang gak asik didengar. Suara garukan di papan tulis, misalnya, bagi saya adalah noise, karena gak asik dan bikin saya ‘ngilu’, tapi mungkin bagi anda, itu bukan noise, karena mungkin menurut anda suara itu asik dan soothing. Bisa jadi.

Setahu saya salah satu pendapat yang mendasari lahirnya noise music mengatakan bahwa musik yang ada sekarang merupakan hasil konstruksi sosiokultural. Sama seperti bagaimana di masa lalu wanita gemuk dianggap lebih menarik dibandingkan wanita langsing, kita menyukai harmoni karena kondisi sekitar kita yang mengatakan demikian, sedangkan bebunyian lain yang dianggap kurang ‘asik’ diklasifikasikan sebagai noise. Nah, noise music ini sendirinya mencoba mendobrak batas-batas tersebut dengan menjadikan noise sebagai musik yang dapat dinikmati.

Tapi terlepas dari apa pendapat orang, mendengarkan musik itu ya balik lagi ke individu masing-masing. Apakah noise music itu benar-benar dijadikan sarana rekreasi, ataukah semata-mata hanya alat pemuas ego para music snob yang pengen dianggap ‘beda’. Who knows. Bukan mengatakan bahwa segala noise itu jelek (ada white noise yang bersifat therapeutic, yang beberapa kali menyelamatkan hidup saya), saya hanya ga bisa memandang noise itu sebagai, well, musik. Jadi, karena menurut saya noise itu bukan musik, ga mungkin kan saya katakan kalo noise music itu musik yang jelek *apeu.

“Bagi gua itu musik, kok.”

“Ya tapi bagi saya bukan. Hehe.”

Let’s just agree to disagree. Mungkin mereka punya kemampuan untuk mendengar apa yang ga bisa saya dengarkan. Spooky.

Intinya sih saya mencoba mendengarkan musik dengan sederhana, sesuai dengan persepsi saya mengenai tujuan musik itu sendiri, populer atau tidak populer, indie atau mainstream, tanpa memandang genre. Karena menurut saya genre itu gunanya agar kita bisa memperluas khazanah kita dengan musik-musik baru, bukan untuk membuat kita menutup diri dan terpaku hanya pada satu jenis musik saja.


Tulisan ini hanya opini bego nan sotoy dari saya saja. Kalau mau dibilang dangkal dan ga koheren juga ga apa-apa. Selera orang ga ada yang sama. Pokoknya kalau anda suka sama satu jenis musik, then by all means enjoy it. Salam!

Standard
college, life, STAN, stuff

Nganggur?

Tanggal 26 Oktober kemarin saya resmi melepas status mahasiswa. Selesai sudah masa-masa menuntut berbagai ilmu yang nantinya (diharapkan) akan dipakai dalam dunia kerja nanti. Dan sebagaimana lazimnya orang yang baru lulus kuliah, akan ada waktu di mana kita akan menyandang status sebagai NEET (Buat yang ga tau NEET, silahkan buka mesin pencari kalian). Dan sebagaimana lazimnya NEET, they’re nothing but a burden to those around him. Biarpun gak sepenuhnya benar, setidaknya itulah yang saya rasakan sekarang, menunggu employment yang katanya akan datang April tahun depan.

Beberapa teman memilih untuk mencari tempat magang di kantor-kantor akuntan publik, katanya buat nambah pengalaman sekalian nambah uang jajan. Memang kalo dilihat dari sisi duit yang didapat, magang di KAP itu sangat menggiurkan. Di umur segini bisa menghasilkan uang 3-5 juta per bulannya memang pencapaian yang tidak bisa dibilang buruk sama sekali. Tapi setelah melihat bagaimana mereka berangkat pagi buta pulang malam, kejebak macet di Sudirman, desak-desakan di KRL, rasa-rasanya saya belum siap waktu luang saya dikebiri seperti mereka. How am I supposed to watch all that TV shows? Read all the manga? Browsing the internet for all those useless random information?

Saya masih pengen leyeh-leyeh. Toh selama ini saya juga masih bergantung pada duit orang tua, what’s another six months? Rasa gak enak sih pasti ada ya. Makanya biar gak terlalu membebani mereka, saya mencoba menekan pengeluaran biar gak lebih dari 150 ribu dalam 1 minggu.

Tapi segala keangguran ini (kata dasar dari pengangguran apa sih? anggur bukan?) ternyata bikin saya merasa useless, uring-uringan. Bawaannya jadi pengen bunuh orang. Saya butuh outlet. Salah satu yang saya lakukan adalah ngebantu ngerapiin rumah dan beberapa tugas rumah tangga lainnya. Selebihnya, menenggak kafein dan menghirup nikotin. Padahal dulu pernah bertekad jadi straight edge hahaha. Memang kadang mengerikan efek dari terlalu banyak waktu di tangan.

Kemudian di antara random internet session itulah, saya nemu beberapa blog bagus yang bikin saya berpikir, “Kapan ya saya bisa bikin tulisan keren kaya begini?”. Terus saya sadar, mereka (para blogger itu) bisa kayak gini karena mereka sering nulis. Ente kalo mau ikut lomba maraton pastinya latihan kan, minimal jogging rutin tiap hari. Gak mungkinlah kalo ga pernah latihan terus tiba-tiba besoknya langsung lari 42 kilo, bisa meledak tuh paru-paru.

Postingan ini bisa dibilang “jogging“, sehingga nantinya saya juga bisa ikut ‘maraton’, atau seenggaknya nyamain rekor Usain Bolt *apeu

Sekian dan…

Terima Kasih.

Standard
Uncategorized

Post Pertama (Tentang UAS Terakhir) di 2013: Ujung-ujungnya Jadi Sentimentil deh

Selasa, 14 Mei 2013, UAS Bahasa Indonesia, menandai berakhirnya masa perkuliahan formal saya di kampus ini. Hell, rupanya udah cukup lama juga saya jadi mahasiswa, walaupun kalau dilihat dari kelakuannya mungkin belum mencerminkan demikian.

2,5 tahun, 6 semester, 12 kali ujian udah saya lewatin. Sedikit banyak juga mempengaruhi pola perilaku saya dalam menghadapi ujian. Awal kuliah di sini, pas tingkat 1, minggu terakhir menjelang ujian pasti bakal diisi dengan cramming bermodalkan buku perpus + materi dari dosen + materi dari internet. Pas minggu ujian jarang tidur. Dalam semalam bisa ngabisin 3 gelas kopi.

Pas tingkat 2, masih sama kayak tingkat 1, cuma intensitasnya ga sepadat sebelumnya, terus pas tingkat 2 ini juga mulai ikutan kalo ada tentir kelasnya Bang Guf. Bahkan dulu saya sempat kebagian nentir materi Advance yang tentang derivatif, biarpun kayanya ga ada yang ngerti, secara saya kalo ngejelasin sesuatu itu pasti bertele-tele dan ujungnya tambah pusing. Pas tingkat 3 jadi makin parah, ke perpus ga pernah, buku ga ngopi, cuma modal slide + catatan temen.

Pas tingkat 3 ini juga stresnya ga seberat semester-semester sebelumnya, entah karena udah terbiasa, atau karena masa kuliahnya yang udah mau habis. Udah ah ngomongin ujiannya, malesin tau ngomongin ujian.

Yap, 2,5 tahun itu bukan waktu yang sebentar. Monyet juga tau kali.

Kalo kita menilik lagi ke belakang, banyak perubahan yang terjadi pada diri kita. Dua tahun lalu saya cuma bocah baru tamat SMA yang baru nginjek ibukota pertama kali dengan badan kurus 55 kilo. Sekarang saya adalah bocah gede yang udah mau lulus kuliah, yang udah lumayan lama di Jakarta, tapi tetep aja nyasar kalo ke mana-mana, dengan perut buncit 68 kilo. Kalo dilihat-lihat ga banyak perubahannya. Tinggi badan aja ga nambah. Tapi kalo dilihat-lihat lagi perubahan itu cukup banyak. Ya, sedikit, tapi banyak. Ngomong apa sih saya ini.

Anyway, kalau anda perhatiin, saya sering sekali meng-adress diri saya dengan sebutan bocah. Entah, mungkin itu manifestasi dari kegelisahan saya karena di umur yang sudah bukan belasan ini saya masih merasa belum bisa berfungsi selayaknya manusia lain seusia saya. Of course I know how to deal with technical things just like every other people my age. Tapi secara emosional, belum. Sisi childish saya yang cuma ingin kesenangan dan cenderung melarikan diri masalah masih mendominasi, membuat saya khawatir jangan-jangan saya ini hanya jadi tua, ga jadi dewasa. Mungkin ini hal yang umum terjadi di usia peralihan macam saya ini. Bukan terobsesi menjadi dewasa, cuma ga mau nanti jadi bocah tua di antara orang dewasa lainnya. Cepat gede ya, dek!

Edit: Gaya tulisan saya kayanya emang ga bisa rapi deh, sorry about that.

Standard
college, life, sotoy, STAN

Mayday: The Ever Approaching Midterm Exam

Sebelumnya saya mau ngucapin selamat Idul Adha 1433 H buat yang ngerayain. Eid Mubarak!

Jadi ceritanya dalam beberapa jam ke depan saya akan menghadapi ujian tengah semester untuk ke 5 kalinya selama kuliah. Dan apa saja yang udah saya lakuin demi mempersiapkan diri menghadapi ujian tersebut? Gak ada. Parah emang. Kalo pake grafik, semangat belajar saya buat menghadapi UTS ini bakal menceng ke kanan dan curam. Buat yang udah pernah belajar statistik sih kayanya pasti tau. Artinya semangat belajar saya cuma ada di awal-awal aja. Bukan di awal semester, tapi di awal-awal masuk kuliah.

Kasarnya kaya gini:

Tingkat 1: Gak tidur, semalaman belajar.

Tingkat 2: Belajar sih, tapi cuma 5-6 jam. Banyakan tidurnya.

Tingkat 3: “Eh? UTSnya besok?!”

Begitulah adanya. Mungkin karena terpengaruh mitos bahwa tingkat 3 itu (katanya) santai. Atau mungkin saya yang memberi sugesti diri sendiri kalo tingkat 3 itu santai. Apalagi ditambah dengan randomnya kuliah di paruh pertama semester ini, dosen yang jarang masuk, kelas yang gak efektif karena keseringan digabung, dst, dst.

Yah.. mau gak mau UTS itu akan tetap semakin mendekat tanpa bisa kita hindari. Siap atau tidak, hadapi tembok ujianmu!

Malem :3 *sok unyu *ditimpuk*

Standard
sotoy

Am I Trapped in Consumerism?

Jadi ceritanya pas saya lagi nulis tulisan ini, saya lagi dikejer ibu kost karena belum bayar a.k.a nunggak. Kejadian yang seharusnya bisa saya hindari andai saja saya ga pernah liat ‘racun’. Atau lebih tepat kalau dibilang, andai saja saya ga ngebiarin diri saya teracuni.

Saya sih sebenarnya sebisa mungkin berusaha menghindari racun itu. Tapi apa daya, di saat temen kontrakan datang dengan sepatu CTR360 Libretto-nya, atau kemeja printed Topman-nya, atau sepatu slip-on Wakai-nya. Di saat itu hal yang kedua yang saya lakukan (yang pertama tentu saja merhatiin, nyobain, memuji barang tersebut, dsb.) adalah ngecek saldo rekening, menghitung berapa hari lagi saya akan dapet kiriman, atau memikirkan rencana biar bisa survive dengan selembar cepek-an dalam sebulan, maklumlah, namanya juga mahasiswa. Semua itu tentu saja biar bisa ngedapetin barang yang sama, atau bahkan lebih bagus.

***

Dan kemudian secara random iTunes memutar sebuah lagu yang entah itu sebuah pertanda atau apa, tapi yang jelas bikin saya mikir kembali. Lagu itu, Belanja Terus sampai Mati dari Efek Rumah Kaca. Sebuah lagu tentang konsumerisme.

Setau saya konsumerisme itu adalah tatanan sosial yang mendorong pola hidup konsumtif. Cailah, sotoy abis. Pokoknya semacam itulah. Intinya sih kalo kita udah beli barang-barang yang gak terlalu kita butuhkan. Macem beli barang cuma karena lapar mata gitu.

Kesimpulannya, saya mungkin sudah terjebak dalam pola hidup konsumtif. Berita baiknya, saya disadarkan saat belum terjebak terlalu jauh, jadi masih ada harapan untuk ‘sembuh’. Sekarang tinggal tersisa satu pertanyaan, mau sembuh ga?

Standard